Gong tanda kampanye partai politik di tahun ini telah ditabuh. Terhitung sejak Minggu (16/3) semua partai politik mulai melancarkan permainan silat lidah demi merebut simpati masyarakat. Inilah dunianya politik. Saat dibidang pertanian, perikanan maupun kehutanan dikenal dengan sebutan penyuluhan, dunia politik lebih survive dengan istilah kampanye. Apakah anda dapat mengidentifikasi kampanye di Indonesia? “Di Indonesia kampanye sering diartikan sebagai pawai motor, pertunjukan hiburan oleh para artis, pidato berapi-api dari juru kampanye (jurkam) penuh propaganda, agitasi, caci maki dan ledekan-ledekan sinis yang menyinggung kontestan lain (Hafied: 2011)”. Inilah lakon cerita dari negara yang sedang bergembira ria menyambut para wakil rakyat baru. Belum lagi saat pemilihan Presiden tiba, lengkaplah sudah pesta demokrasi lima tahunan di bumi khatulistiwa.
Sebuah kampanye menurut Kotler dan Roberto (1989) adalah “Campaign is an organized effort conducted bu one group (the change agent) which intends to persuade others (the target adopters), to accept, modify or abandon certain ideas, attitudes, practices and behavior.” Kampanye ialah sebuah upaya yang diorganisasi oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditunjukan untuk mempersuasui target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Sehingga substansi dalam kampanye menilik pada kegiatan untuk mempengaruhi orang lain. Dan untuk menuju kepada sasaran ini, setiap juru kampanye pun dapat melakukan berbagai banyak cara. Dalam beberapa hari terakhir ini, kita dapat melihat begitu banyak fenomena yang terhampar jelas pada setiap kegiatan kampanye. Di setiap sudut jalan dipasang berbagai macam atribut kampanye setiap calon. Bendera-bendera partai politik bahkan kadang menghijaukan, membirukan pun memerahkan setiap sudut jalan. Parahnya lagi ada yang menabhiskan satu dua kampung sebagai wilayah partai ini pun itu.
Tanpa kita sadari ada beberapa hal yang perlu dihindari dalam setiap kegiatan kampanye. Pertama, memberikan uang kepada simpatisan. Kedua, membawa anak-anak dibawah usis 17 tahun. Ketiga, merusak atribut peserta lain baik itu atribut partai atau gambar calon peserta. Keempat, mengganggu aktivitas khayalak umum misalnya konvoi kendaraan roda empat maupun dua yang memungkinkan terjadinya macet. Keempat hal ini merupakan berbagai aktivitas yang perlu dihindari oleh setiap partai politik pun calon wakil rakyat atau pun warga negara dalam pesta kampanye kedepan. Bayangkan saja jika ada calon atau parpol yang menggunakan cara-cara curang misalkan membagikan uang penyogok. Sebuah tindakan tak bermartabat yang malah membawa substansi demokrasi kepada curang kehancuran. Ataupun dengan membawa anak kecil pada saat kampanye. Bagi penulis, kegiatan kampanye bukanlah menyasar pada kegiatan mobilisasi massa melainkan mobilasisasi tujuan dari demokrasi itu sendiri yakni kebebasan. Kebebasan untuk datang, mendengar, menganalisis dan kemudian menjatuhkan pilihan kepada calon atau partai politik yang dapat menjadi penyambung aspirasi.
Untuk menghindari berbagai kegiatan negatif diatas, Nimmo dan Thomas Ungs (1973) melihat sebuah perencanaan kampanye poltitik sedapat mungkin harus melalui tiga fase yakni; pertama fase pengorganisasiaan (organizing phase), kedua fase pengujian (testing phase) dan fase kritis (critical phase). Fase penggorganisasian yakni kapan staf, informasi dan dana dikumpulkan, strategi dan taktik ditetapkan dna semangat kelompok dibangkitkan untuk pengurus dan anggota. Fase pengujian kampanye (testing phase) yakni kapan calon menggalang para anggota dan menawarkan kemudahan-kemudahan kepada orang yang belum menjadi anggota. Langkah terakhir adalah fase kritis (critical phase) di mana kampanye mencapai suatu titik di mana calon pemilih (critical) belum menentukan sikap terhadap partai atau siapa yang akan didukung atau dipilih. Umumnya kelompok yang belum menentukan sikap seperti itu adalah mereka yang tidak pernah punya perhatian terhadap pemilu. Jika setiap partai politik atau pun calon wakil rakyat dapat memerhatikan setiap fase tersebut dengan baik, penulis yakin kegiatan kampanye bukan lagi identik dengan pertunjukan hiburan atau permainan kata ala propaganda melainkan kegiatan edukatif. Para pemilih pemula pun dapat diberi pengajaran yang benar tentang substansi dasar dari kegiatan kampanye. Cita-cita dasar dari demokrasi substansial dapat tercapai melalui kegiatan kampanye. Sehingga jelas, gedung DPR baik pusat maupun daerah dapat dipenuhi oleh para wakil rakyat yang bermutu. Dan Indonesia pun dapat memetik hasil dari pesta demokrasi yang bermartabat.