Dalam paham demokrasi, Abraham Lincoln mencoba memberi defenisi klasik yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tentunya paham ini berangkat dari beberapa dasar pemikiran yakni, pertama manusia diperlakukan dan ditempatkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan. Kedua, salah satu hak asasi manusia adalah kebebasan untuk mengejar kebenaran, keadilan dan kebahagiaan. Ketiga, sesuatu yang diputuskan bersama akan memiliki kadar ketepatan dan kebenaran yang lebih menjamin dan lebih baik. Keempat, didalam kehidupan masyarakat pasti akan timbul selisih paham dan kepentingan antar individu, sehingga perlu suatu cara untuk mengatur bagaimana mengatasinya.
Dan pemilu legislatif pada tanggal 9 April lalu menjadi buah dari demokrasi. Setiap warga negara dihadapkan pada sebuah kepercayaan yang dicurahkan melalui prinsip keterwakilan. Dan secara sadar kita perlu mengatakan bahwa pemilu legislatif tahun 2014 telah berakhir. Dalam tanggapannya, Presiden SBY mengapresiasi pelaksanaan pemilu tahun ini. Terlepas masih banyak persoalan yang terjadi sebut saja di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta ditemukan banyak surat suara yang kurang, di Aceh konflik antara dua partai lokal maupun distribusi yang lamban yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia menjadi cerita pelengkap pemilu tahun ini. Setidaknya beberapa persoalan ini dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi penyelenggaraan pemilu di tahun 2019 nanti. Lepas dari persoalan penyelenggaraan pesta demokrasi ini, bagi penulis sendiri ada pokok pikiran yang perlu diperhatikan bersama. Menurut hemat penulis, pertanyaan berikut perlu kita refleksikan bersama, apa yang perlu kita lakukan pasca pemilu legislatif? Ada dua alasan mengapa penulis memberi pertanyaan sederhana ini.
Pertama, sebagian besar elite partai politik (parpol) pengamat politik maupun mahasiswa lebih sering melempar ide tentang bagaimana cara bersikap menghadapi pemilu. Ambil contoh saja, ajakan untuk ide golput, berkampanye yang santun, menghindari money politic dan ide-ide kreatif lainnya. Sangatlah berat sebelah jika perbincangan mengenai apa yang harus dilakukan setelah pemilu tidak dilemparkan. Kedua, ada cita-cita tersirat yang harus terus dikejar sebagai warga negara. Cita-cita tersebut adalah menjadikan demokrasi Indonesia menjadi demokrasi substantif bukan demokrasi prosedural. Kalau mau dikata, pengalaman demokrasi kita selama ini dimaknai sebagai demokrasi prosedural, dimana selang lima tahun diadakan pemilihan umum. Apakah itu pemilihan Presiden, legislatif, bupati atau pun kepala desa. Cita-cita menuju demokrasi susbtantif masih jauh panggang dari api. Memang benar adanya bunyi knalpot bising saat kampanye, peredaran uang saat masa kampanye, “pelarian tugas” para anggota DPR sebagai wakil dari wilayah pemilihan, menumpuknya nama anggota DPR sebagai tersangka di KPK dan masih banyak lagi poin degradasi dari pemaknaan demokrasi secara substantif. Kenyataan inilah yang perlu direflesikan menuju kemandirian demokrasi substantif.
Peran Semua Pihak
Sebagai warga negara, tentunya potret kelam wajah demokrasi Indonesia (baca demokrasi prosedural) perlu diarahkan menuju ke cita-cita demokrasi substantif. Beberapa poin demokrasi substantif; pertama pemerintahan yang bertanggung jawab, bersih dan berdedikasi tinggi, kedua dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili semua golongan dan kepentingan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia, ketiga organisasi politik sistem dwipartai/multipartai serta organisasi massa yang diinginkan masyarakat, keempat pers yang bebas dan terbuka untuk umum, kelima lembaga peradilan yang independen agar lebih menjamin hak asasi manusia secara adil, keenam menjamin perubahan sosial secara damai terkendali melalui cara penyesuaian kebijaksanaan dan pembinaan oleh pemerintah dan ketujuh mengakui keanekaragaman sikap secara wajar hingga batas toleransi persatuan bangsa dan menjamin tegaknya keadilan. Inilah cita-cita adiluhur yang perlu ditanamkan oleh semua pemangku jalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam rangka menuju cita-cita demokrasi substantif, penulis menawarkan beberapa buah pikir yang berangkat dari dua peran yakni anggota DPR; mengambil momen pemilu legislatif yang baru saja selesai; dan mahasiswa. Pertama bagi semua anggota DPR yang terpilih entah itu pada DPRD Tingkat I, DPRD Tingkat II maupun DPRD Pusat. Menurut hemat penulis, semua anggota DPR perlu mengembalikan fungsi partai politik (sebagai kendaraan menuju kursi DPR) yang telah lama dirampok oleh keengganan anggota DPR sebelumnya dalam menjalankan tugas. Dalam tataran formal fungsi partai politik ada enam yakni; sebagai sarana komunikasi partai politik, sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, sebagai sarana pembuatan kebijakan/keputusan dan sebagai sarana pengatur konflik. Inilah fungsi partai politik yang perlu dimainkan oleh anggota partainya yang dalam hal ini sebagai anggota dewan. Inilah amanah yang perlu diemban oleh anggota partai politik. Meski terdapat pembeda fungsi antara anggota dewan (legislasi, pengawasan dan anggaran) dan parpol, menurut hemat penulis semua fungsi tersebut telah tersirat akan berujung pada kepentingan rakyat.
Kedua bagi mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen dan awal mula perubahan perlu memainkan perannya dalam mengawal hasil pemilu legislatif yang telah berlangsung. Menurut hemat penulis, peran tersebut dapat dimainkan dalam ragam pengawasan. Dalam hal ini mahasiswa diposisikan sebagai instrumen pengawas bagi semua anggota dewan terpilih terhadap janji-janji yang telah disampaikan saat kampanye. Janji yang dijadikan sebagai pemanis bibir dalam bentuk program kerja, harapan, barang fisik perlu dikawal. Ketika janji tersebut tidak ditepati, disinilah peran mahasiswa dimainkan. Bisa dalam bentuk goresan pena, dialog interaktif, maupun demonstrasi yang santun. Setidaknya mahasiswa memiliki beberapa kekuatan untuk mengawal hasil pemilu (baca demokrasi). Modal tersebut antara lain kekuatan massa dan daya pikir kritis. Kekuatan massa dan daya pikir kritis telah memberi bukti pada cerita jatuhnya rezim orde baru tahun 1998. Jadi tak ada yang dapat menyangkal kecilnya peran mahasiswa dalam mengawal proses pemilu menuju demokrasi substantif.
Dua peran ini setidaknya dapat dijadikan garda terdepan dalam mengawal keutuhan demokrasi. Memang tak dapat disangkal, masih banyak peran yang dapat diambil oleh berbagai peran. Media massa, para birokrat, akademisi, para pengamat dan tentunya masyarakat. Tentunya semangat menjaga keutuhan demokrasi menjadi pemicu bagi peran yang dimainkan. Sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen bahwa pada dasarnya demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Gambarannya; pertama yang melakukan kekuasaaan negara adalah wakil-wakil yang terpilih untuk menyalurkan kehendak rakyat, kedua cara melaksanakan kekuasaan negara ialah selalu mengingat kehendak dan keinginan rakyat, ketiga menyelesaikan setiap konflik secara damai melalui dialog, kompromi, konsensus, kerjasama dan dukungan. Apa yang dikatakan oleh Hans Kelsen setidaknya ingin mengatakan bahwa keutuhan demokrasi adalah tugas dan tanggungjawab kita semua yang diwujudkan oleh kerja sama antar pihak. Mari kita menjaga keutuhan demokrasi menuju cita-cita demokrasi substantif.