Tanggal 20 Mei setiap tahunnya selalu diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Hari Kebangkitan ini diinspirasi oleh gerakkan Budi Utomo pada tahun 1928. Semangat gerakan ini pada awalnya ialah sebagai gerakan bersama untuk menumbuhkan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. semangat awal inilah yang kemudian berbuah pada Kemerdekaan di tahun 1945.
Tahun berganti permasalahan bangsa pun berganti. Semangat perjuangan di awal tahun 1928 telah berbeda kini. Saat ini permasalahan bangsa telah berubah haluan pada masalah korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba dan paling utama adalah minus teladan pemimpin/negarawan. Menurut hemat penulis, keteladanan pemimpin di era modern saat menjadi topik pembicaraan yang sangat serius. Tersangka kasus korupsi sebagian besar adalah para pemimpin partai, mantan Menteri, Gubernur dan Bupati kepala daerah dan masih banyak lagi. Inilah penjajahan di zaman modern. Penyakit atau dapat dikatakan penjajahan ini, menempatkan apa yang disampaikan berbeda dengan apa yang dilakukan. Keteladanan tutur tidak diseleraskan pada keteladanan sikap. Sehingga masyarakat akan mengelus dada menyaksikan di televisi, tersangka korupsi yang adalah pemuka agama, pemimpin partai politik maupun Menteri. Hal ini tentu menjadi alarm buruk bagi usaha mengantar bangsa Indonesia menuju cita-cita luhur bersama. Momen kebangkitan nasional tahun ini menurut hemat penulis perlu dijadikan momen refleksi nasional bagi seluruh pemimpin bangsa ini dalam berbagai profesi di berbagai tempat.
Harapan akan teladan pemimpin ini kiranya juga disampaikan oleh Claudianus, Componitur orbis/regis ad examplum (Dunia memang membutuhkan teladan pemimpinnya). Semboyan ini di ucapkan oleh Claudiamus yang terdapat De quarti Consulatu Honorii 299/300 (Pandor; 2012). Ungkapan ini menekankan bahwa pemimpin perlu memberi teladan kepada rakyatnya. Pemimpin yang diteladani biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, memberi kejujuran baik kepada dirinya sendiri kepada sesama (rakyat), terhadap tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya maupun kepada Tuhan. Kedua, berkomitmen yaitu melakukan apa yang telah dijanjikannya kepada rakyat. Ketiga konsisten yaitu menunjukkan keselarasan antara kata dengan perbuatan, antara mulut dengan tindakan. Tiga ciri-ciri inilah yang saat ini menjadi salah satu bentuk harapan konsep pemimpin ideal.
Untuk mendukung ketiga ciri-ciri di atas, Cicero mengatakan pemimpin harus memiliki kemampuan berbicara secara cerdas, inspiratif dan mencerahkan dan memiliki keutamaan civik (civic virtue) yaitu sebuah keutamaan untuk berkorban demi kepentingan bersama. Keutamaan inilah yang perlu disemai bersama dalam momen kebangkitan nasional ini. Dalam usaha menyemaikan keutamaan ini, kebangkitan secara kolektif hendaknya dapat dijadikan sebagai alternatif utama. Kesamaan situasi akan minusnya keteladanan pemimpin dapat berbuah pada pergerakan pola pikir yang berujung pada pola tindak yang dapat dilakukan di tengah keluarga maupun komunitas kita masing-masing. Sebagai ayah dapat memberi teladan kepada anggota keluarganya, sebagai ketua organisasi kemasyarakatan dapat memberi teladan kepada anggota-anggotanya, sebagai guru kepada muridnya maupun berbagai profesi di tempat dan waktu yang berbeda. Penulis yakin, momen kebangkitan teladan para pemimpin dapat berbuah kemerdekaan dari penjajahan yang kita hadapi saat ini. Semoga