Perjalanan panjang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah berakhir setelah dipecah kedalam beberapa produk hukum seperti Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang Desa. Dalam rekam jejak perjalanan ketiga undang-undang ini, publik sepakat untuk memberi penegasan betapa rumitnya melahirkan ketiga pecahan undang-undang ini. Ketimbang Undang-Undang Desa, Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Pemda menjadi topik pembicaraan yang sangat berbau politis. Pasca pemilihan presiden (pilpres), kedua undang-undang ini menjadi makanan empuk bagi kedua koalisi; Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih; untuk mempertegas eksistensi dengan satu pernyataan, “kami bekerja demi rakyat”. Dan kini publik telah disuguhi olee implikasi dari perseteruan di balik kedua undang-undang tadi. Pola keseimbangan dibalik tugas kerja di eksekutif dan legislatif menjadi lanjutan cerita di lima tahun kedepan.
Meskipun demikian, Undang-Undang Desa dapat dikatakan lolos untuk dijadikan komoditas perseteruan kedua kubu. Undang-undang Desa bahkan telah berlari kencang dengan adanya Peraturan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Dan benar apa yang disampaikan oleh Brian C.Smith bahwa dalam berbagai literatur, desentralisasi memiliki keterkaitan yang erat dengan demokratisasi. Tujuan utama dijalankannya desentralisasi adalah untuk mendorong penumbuhan demokrasi lokal (1985). Dan dalam wacana yang telah diperkuat sebelumnya dan kini dalam aspek implementasi, penguatan desentralisasi tersebut berbuah pada beberapa produk hukum Undang-Undang Desa yang telah disahkan.
Dari ketiga produk hukum yang telah dikeluarkan setidaknya desa berada pada jalur yang tepat untuk beberapa hal berikut; pertama, demokrasi di tingkat desa mulai diberi ruang. Desentralisasi tingkat lokal mulai terejawantahkan pada pemberian ruang politik yang luas kepada setiap warga desa untuk berpikir dan bertinda secara bebas dalam ruang demokrasi. Salah satu agenda penting dalam ruang demokrasi ini adalah kepala desa dapat dipilih secara langsung oleh warga desa. Inilah pembeda yang sangat jelas ketika kini bupati maupun gubernur diputuskan dipilih oleh anggota dewan. Tingkatan desa memberi contoh yang baik dan benar, seperti apa demokrasi dijalankan di negeri ini.
Kedua, kemandirian secara fiskal. Kemandirian ini menjadi salah satu pokok penting dalam agenda pembangunan di desa. Saatnya desa dapat berdiri sendiri dalam berbagai ide dan gagasan yang dapati diberi wadah dalam bentuk pendanaan. Meski masih dalam polesan bantuan wajib dari pemerintah pusat, dibalik kemandirian fiskal ini desa mulai dapat tersenyum lebar karena masalah pendanaan dari setiap program kerja selama ini telah diatasi dengan kemandirian ini. Ketiga, kemandirian dalam mengagendakan program pembangunan. Poin ketiga ini lebih tepatnya disebut sebagai pengejawantahan dari konsep otonomi daerah bahwa daerah diberi ruang secara penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Saat ini kemandirian ini diberi sepenuhnya kepada desa untuk mengawal pembangunan baik itu dalam aspek perencanaan, pelaksanaan maupun dalam pengevaluasian. Hal ini memberi dampak kemandirian tersebut menjadi motor penggerak dalam berpikir maupun bertindak.
Namun demikian, ketiga poin penting ini juga memberi ruang yang berbeda kepada desa untuk menyikapinya dengan penuh tanggung jawab. Pertama, pengawasan terhadap kemandirian fiskal yang diberikan perlu diawasi. Kemandirian keuangan yang telah diberikan perlu diikuti oleh politik anggaran; kebijakan anggaran atau desentralisasi fiskal. Dalam konteks politik anggaran, hal-hal yang termuat di dalamnya adalah kebijakan manajemen anggaran, mulai dari bagaimana membuat perencanaan anggaran, bagaimana memperoleh anggaran, bagaimana mengekstraksi sumber-sumber anggaran, kemudian bagaimana melakukan alokasi, bagaimana melakukan belanja dan bagaimana menjalankan distribusi desentralisasi anggaran. Kedua berkaitan dengan demokrasi bagi masyarakat desa. Beberapa poin positifnya adalah demokratisasi desa hendak membuat pemerintah desa lebih akuntabel, transparansi dan responsif dalam mengelola kebijakan dan keuangan desa, demokrasi bakal membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah desa maupun pemerintah yang lebih tinggi. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi. Kemudian demokrasi menjadi arena untuk mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai kesadaran kritis tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup mereka. Dan yang terakhir adalah demokrasi tentu merupakan upaya jangka panjang dan berkelanjutan untuk mendorong kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat desa (Sahdan Goris: 2005).
Di balik poin-poin positif ini terbersit satu pertanyaan penting, apakah masyarakat desa saat ini telah siap untuk menyambut demokrasi tersebut? Inilah pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama. Permasalahannya adalah, pertama demokrasi telah disandingkan dengan istilah politik. Dan lakon para aktor politik pada drama pasca pilpres telah menempatkan politik pada dua kata yakni musuh dan balas dendam. Ketakutannya adalah teladan pemimpin tinggi membuat masyarakat desa apatis dalam menyambut demokrasi ini. Kedua, pendidikan politik masih kurang diselenggarakan di tingkat pedesaan. Partai politik sebagai corong pendidikan politik ini malah sibuk mengurus kepentingan pencitraan. Lebih lanjut pertanyaan yang sama perlu ditanyakan kembali, apakah masyarakat desa telah siap untuk menyambut demorkrasi?
Berhadapan dengan pertanyaan ini, Sutoro Eko mengatakan bahwa desa tetap merupakan modal dasar kehidupan sejak dulu sampai sekarang, sebab desa memiliki faktor-faktor kehidupan yang tidak dipungkiri eksistensi dan fungsinya. Desa adalah tempatnya land and man, yaitu tanah dan tenaga kerja. Itu adalah faktor produksi bagi kelangsungan hidup manusia. Selama Indonesia sebagai negara agraris dapat dipastikan tidak akan melupakan dua jenis faktor produksi itu karena dari dua faktor produksi itulah menghidupi pemerintahan kerajaan, kolonial dan pasca kolonial (2005). Hal ini member arahan berpikir kepada kita untuk memberdayakan dua modal tadi yakni tanah sebagai modal kehidupan dan tenaga kerja sebagai modal kebersamaan (baca gotong royong). Inilah modal utama dan pertama yang tidak dimiliki oleh negara (baca pemerintah pusat) selama ini namun desa menempatkan diri pada garda terdepan dalam mengaktualisasikan kemandirian fiskal dan demokrasi tadi. Untuk itu, desaku tetaplah bergerak.